Tubuhku bukan milikku. Tubuhku bukan milikku. Tubuhku, bukan milikku.
**
Aku menenggak segelas minuman itu sekaligus. Alkohol. Api terasa menjilat tenggorokanku. Panas. Biar saja. Aku akan membakar habis semua yang melekat di diriku sampai habis. Sampai aku merasa kebas. Mati rasa.
Aku diawasi. Benar. Wanita bermata hijau itu terus menerus menatapku. Aku tersenyum setengah hati, berusaha sopan. “Kau baik-baik saja?”
Aku tersedak. Sepertinya aku minum terlalu banyak sampai-sampai ada suara asing bergaung di kepalaku. Kutatap lagi wanita bermata hijau itu, wajahnya terpilin khawatir. Dia terus menerus mengamatiku.
Aku bergerak mendekatinya. Sial! Babi tua maniak itu membuat badanku serasa dibentur-benturkan ke batu. Seluruh tubuhku ngilu. Sakit sekali! Aku hanya mau bergerak sebentar saja dan tubuhku menjerit protes. Sial!
“Diamlah. Aku yang kesana.”
Kembali aku tersedak. Mana mungkin wanita itu yang berbicara? Di dalam kepalaku? Oh yah, mungkin aku memang benar-benar terlalu gila. Otakku membeku saat melihat wanita bermata hijau itu tepat dihadapanku. Ekspresinya datar. Tapi ada sesuatu dimatanya. Sesuatu yang membuatku gagal untuk melawan meskipun seluruh instingku berteriak untuk lari. Instingku berteriak untuk menghindar.
“Siapa kau?” Tuntutku. Setengah mabuk, aku melihat garis-garis wajahnya terpahat sempurna. Kecantikan yang tidak manusiawi. Berkulit sepucat hantu, sehalus marmer. Cahaya remang-remang di bar membuatnya tampak menakutkan, seolah ada aura gelap yang menaunginya. Wanita itu menarik ujung bibirnya, setengah tersenyum. “Aku bukan siapa-siapa.” Kembali aku mendengar suaranya. Di dalam kepalaku. “Kau hantu! Pergi. Jangan ganggu aku. Hidupku sudah begitu sengsara tanpa kehadiran hantu sepertimu.” Aku mulai tertawa-tawa. Getir. Menertawai hidupku. Aku melihat dahinya berkerut. Seolah merasakan apa yang kurasakan. Peduli setan. Aku menyeret kakiku, menjauhi meja bar yang membuatku sinting. Aku tidak akan minum lagi. Minuman api itu bukannya membakar masalahku, ternyata membakar kewarasanku!
Sempoyongan, aku merayu babi lain untuk meniduriku. Aku tidak bisa bertahan hanya dengan dua dollar di dalam sakuku.
** Babi itu bernama Ben. Ia terus melumat tubuhku tanpa jeda. Menggelepar-gelepar seperti ikan yang terhempas dari kolamnya. Muak. Aku memejamkan mata dan mulai bersenandung di dalam hati. “Tubuhku bukan milikku. Tubuhku bukan milikku. Tubuhku bukan milikku.”
“Tentu saja ia milikmu.” Suara sehalus beledu meningkahi nyanyian di dalam kepalaku. Suara wanita bermata hijau itu! Ben mendongak. Bibirnya terlalu sibuk dibawah sana saat aku membeku. Dan dia gusar aku tidak lagi menggelinjang. Dia bodoh. Babi. Aku selalu berpura-pura menikmati permainan para babi itu. “Kenapa kau? Ayolah Sussie! Jangan berlagak seperti pelacur amatiran.” Aku tidak bergerak. Mendengarkan penuh perhatian suara yang berbisik di dalam kepalaku. “Apa katamu tadi?” Tanyaku. Masih di dalam kepalaku.
“Tubuhmu, tentu saja milikmu.” Aku meninggalkan Ben yang telanjang. Membiarkannya memaki dan menyumpah-nyumpah. Persetan dengan babi itu. Aku harus menemukan wanita bermata hijau itu. Mencari tahu siapa dia sebenarnya. Dan mencari tahu apakah dia sebenarnya.
***
Flatsku begitu benderang di musim semi. Aku mengusap-usap bilur-bilur memanjang di sekitar perut dan punggungku. Babi yang lain. Memecutku semalaman seolah aku kuda tunggangan! Aku melirik setumpuk dollar tebal di tepi ranjang. Paling tidak, aku bisa hidup. Beberapa malam lagi. Tanpa babi.
Aku tertawa. Kosong. Menendang serpihan potret buram yang tercabut paksa dari dinding. Kau membuatku seperti ini! Kubakar sisa potret itu perlahan. Seandainya kenangan bisa dengan mudah kubakar!
Sebentuk wajah mengerut seiring api yang melalapnya perlahan. Selamat jalan, Suami Sialan!
“Sussie..” Suara itu kembali muncul. Setelah dua minggu penuh tidak menggangguku. “Tunjukkan saja dirimu. Pengecut.”
Aku menunggu. Tidak ada jawaban. Merasa bodoh, aku menghempaskan tubuhku di ranjang.
“Lepaskan aku, bagaimana kau bisa setega itu?” Dia tertawa. Memainkan rokok di ujung bibirnya. “Layani saja dia. Kau selalu hebat, Sayang.” Dia melemparku ke lelaki tua dengan bau alkohol menyengat seperti sebuah boneka usang. “Bersenang-senanglah, Mark. Jangan buat dua ribu dollarmu sia-sia.” Dengan lembut, ia mencium pipiku. Meninggalkanku selamanya di kubangan babi-babi maniak berwujud manusia. Malam itu, kubuang cincin yang melingkar di jari manisku selama lebih dari dua tahun.
Aku masih berteriak ketika mimpi buruk yang sama terus berulang. Mimpi buruk yang terus berulang. Memutar kenangan. Rupanya sudah malam dan aku tertidur seharian. Merasa sangat sakit luar dan dalam, aku kembali bersenandung. “Tubuhku bukan milikku, tubuhku bukan milikku.”
Wanita bermata hijau itu muncul. Di cermin perak yang menghiasi dinding kamar mandi. Dia. Muncul. Tepat. Di belakangku. Terkesiap, aku memutar badan. Wajahnya hanya beberapa inchi dari wajahku. Aku bisa merasakan dingin nafasnya. Dunia membeku ketika bibirnya melumat bibirku. “Jadilah milikku.” Aku ingin meronta. Aku harus melawannya. Aku tahu dia bukan manusia! Tangannya yang sedingin salju menjamah lenganku. Leher. Dada. Perut. Handuk hitam yang melilit tubuhku, berserakan. “Lepaskan aku. Siapa kau?” Aku terus menuntutnya di dalam kepalaku. Wanita itu tetap bisu, terus menciumku dengan begitu lembut, dan hati-hati. Aku menyerah. Membiarkannya melakukan apa saja. Aku sudah terbiasa. Lagipula tubuhku bukan milikku.
Wanita itu mendadak gusar, meremas tanganku dengan gemas. Bola matanya berkilat-kilat ketika ia berbicara. “Hentikan! Terlalu banyak yang kau sia-siakan!” Pertama kalinya dia berbicara. Suaranya begitu ringan seperti denting lonceng yang tertiup angin. “Katakan. Siapa kau?” Aku memandangnya yang setengah telanjang. Tubuhnya begitu halus. Titik-titik keringat berkilauan di dadanya. Tanganku terulur menghapusnya. Merasakannya bergetar. “Aku bukan siapa-siapa.” Suaranya kembali bergaung di kepalaku. Aku menggigil menolak hasratku sendiri. Aku menyerah. Malam itu aku miliknya. Juga untuk entah berapa ratus malam kedepan.
**
Wanita bermata hijau itu bernama Gwyn. Aku tidak pernah mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berpusaran di kepalaku. Sore itu begitu mendung saat Gwyn menciumku. Aku merasa utuh. Mimpi burukku menghilang saat Gwyn mendekapku. Babi-babi maniak tidak pernah mencariku lagi. Aku keluar dari dunia prostitusi. Aku tidak menyangka, surga yang kuimpikan begitu sederhana. Menikmati padang rumput yang bersalju, serta lengan Gwyn memelukku seperti beledu.
**
“Mereka terus melihat kearahmu.” Aku melirik sekumpulan orang yang melihat kearah kami. Di halaman berumput di depan flats. Di antara rerimbun semak mawar liar aku dan Gwyn saling bersandar. “Tentu saja, Gwyn. Mereka belum terbiasa melihat sepasang wanita berpelukan seperti kita.” Gwyn memamerkan sederet giginya yang berkilauan. “Kalau begitu, mari kagetkan mereka dengan ciuman-ciuman kita.” Aku terbahak menyambut bibirnya. Seketika aku mematung. Ciumannya berbeda. Sarat perpisahan. “Gwyn?” Panggilku. Aku menengadah. Sepasang sayap kehitaman muncul dari balik punggungnya. “Maafkan aku, Cinta. Aku tidak bisa melawanNya.” Sebuah belati hitam, panjang, berkilat di tangannya. Aku seharusnya takut. Aku seharusnya lari. Tidak. Aku tahu, aku percaya padanya. “Siapa kau, Gwyn?” Gwyn menatapku dibalik mata hijaunya. Perlahan tubuhnya memudar, berubah menjadi kabut hitam yang menelanku.
“Aku malaikatmu. Yang seharusnya menjemputmu menjelang maut. Dan aku, jatuh cinta. Padamu.”